AJARAN UJARAN SEORANG
BAPAK TERHADAP PUTRINYA
Bapak :
1) Mingkar mingkuring angkara, /
Akarana karenan mardi siwi, / Sinawung resmining kidung,/ Sinuba sinukarta, /
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung. / Kang tumrap neng tanah Jawa, / Agama
ageming aji.
(Menjauhkan
diri dari nafsu angkara / karena ingin mendidik putra, / Di untai lewat syair
dan lagu, / yang dihias penuh variasi, / biar menjiwai ilmu luhur yang dituju.
/ Di tanah Jawa ini / agama adalah tuntunan yang baik)
2) Jinejer neng Wedatama / Mrih tan
kemba kembenganing pambudi / Mangka nadyan tuwa pikun, / Yen tan mikani rasa, /
Yekti sepi asepa lir sepah, samun, / Samangsane pasamuan / Gonyak ganyuk
nglilingsemi.
(Disajikan di
Wedatama, / agar jangan kekurangan pengertian. / Meskipun sudah tua dan pikun,
/ jika tak punya perasaan, / sebenarnya tanpa guna, bagai sepah (ampas yg tdk
berguna). /Saat dalam pertemuan, / sering bertindak salah dan memalukan)
Pupuh yg pertama, Sri Mangkunegara
menjelaskan tujuan penulisan tembang2 ini, yaitu karena keinginan beliau utk
mendidik putra/putri nya lewat untaian tembang. Beliau juga menjelaskan, bahwa
di Jawa ini agama berarti sebuah aturan/tuntunan yang baik …
Pupuh yg ke dua, beliau juga
mengatakan, hal ini beliau lakukan agar tdk ada salah pengertian di antara
putra/putrinya. Agar putra/putrinya kelak tdk melakukan hal yg memalukan, krn
biarpun sdh tua dan pikun, tp kalau tdk punyarasa,
itu juga tiada guna, sama halnya dengan sepah/ampas
yg sudah tidak berguna lagi …
Putrinya : Wah, menarik sekali
ya, bapak. J
Terus yang dimaksudkan
orang itu harus mempunyai rasa itu yang bagaimana, bapak ? Bukankah
semua orang itu sudah pasti mempunyai perasaan ? Tapi kenapa disitu disebutkan,
jika tdk punya rasa dst, dst ? Aku kok masih bingung di
kalimat itu bapak …
Bapak : Hahaha ! Pertanyaanmu
bagus, nduk …
Betul yg kamu bilang,
semua manusia mmg mempunyai rasa.
Memang kadang sulit menterjemahkan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia ya di situ
itu. Ada kata2 tertentu yg sulit diartikan ke dlm bahasa Indonesia, akhirnya
diambil kata dalam bahasa Indonesia yang sekiranya mendekati arti dari kata
tsb. Mikani berasal dari kata wikan yang artinya weruh. Weruh dalam bahasa Indonesia artinya tahu,
lihat. Jd seharusnya begini “Jika tdk tahu rasa” atau “Jika tdk lihat rasa”.
Maka artinya jd aneh, bahkan bisa jadi beda arti. Maka kemudian bapak ambil
terjemahan bahasa Indonesianya “Jika tdk punya rasa” itu tadi …
Putrinya : Ooooh, begitu … Lha
terus, arti dan maksud kalimat itu bagaimana, bapak ?
Bapak : Yaaa … Jd setiap orang
harus meruhi rasa itu tadi, supaya dalam tindak
tanduknya tidak memalukan. Setiap orang mmg punya rasa itu, namun jaman sekarang orang sudah
banyak meninggalkannya. PUNYA tapi TIDAK MAU PAKAI. Tidak mau MERUHI,
makanya seperti yg kamu lihat sekarang, yang terjadi seperti yang di
katakan Sri Mangkunegara IV, tindak-tanduk mereka seringkali memalukan
dan tidak tahu malu. Orang mencuri/korupsi sudah merupakan hal yang
biasa. Unggah-ungguh juga sudah tdk ada. Rasa pangrasa juga sudah
hilang, tepa salira juga sudah tidak ada, dlsb….
Putrinya : Iya, bapak.
Wah, semakin menarik
nih, bapak. Memangnya, orang jaman dulu kayak apa sih bapak ? Aku sendiri juga
kalau ngelihat hal2 yg bapak sebutkan tadi juga biasa saja, tuh. Kayaknya
memang sudah wajar, sudah biasa gitu loh … Kan hampir semua orang begitu, bapak
? Kalau kita nggak ikutan begitu, kan malah kita jd kayaaaak … mmmm … kayak
aneh, gitu lho, bapak. Hehehe, itu kalau mnrt aku lho, bapak …
Bapak : Ya itulaaah … Budaya
yang adiluhung ditinggalkan. Dianggap kuno. Dianggap tidak pantas dipakai lagi.
Sdh out of date,
katanya. Padahal, buktinya, orang2 jaman dahulu kehidupannya malah tidak
separah orang2 jaman sekarang. Orang jaman dulu semangat gotong royongnya
tinggi, sepi ing
pamrih rame ing gawe, rasa tepa
salira dll itu td
masih tebal … Perasaannya halus lembut, tidak biyayakan dan pencilakan seperti orang2 jaman sekarang …
Putrinya : Qiqiqiqiqiqi … Bapak.,
ini lho … Lha bapak ini kan juga orang jaman sekarang to, bapak, kok bapak
malah menjelek2kan orang jaman sekarang … hmmmm ….
Bapak : Bukannya menjelek2kan.
Tp ini fakta. Kamu harus bisa membedakan, mana yang hanya waton menjelek2kan dan tidak. Jangan hanya
membeo seperti kebanyakan orang sekarang. Karena semua orang bilang kuno, tdk
layak pakai, ya semua ikuuuut. Jangaaan … Kamu boleh bilang sesuatu itu jelek,
kuno dlsb, jk kamu sendiri sudah tahu dan mengerti bahwa hal itu mmg tdk layak
dipakai. Ibarat bercerita ttg sebuah tempat yg sama sekali blm pernah kamu
kunjungi, bagaimana kamu bisa bilang bhw tempat itu tdk baik ? Bgmn kmu bisa
bercerita, ttg liku2 jalan menuju ke sana, apakah jalannya jalan setapak atau
aspal dlsb ? Jika kamu blm pernah sampai di sana lalu kamu membeo bilang bahwa
tempat itu menyeramkan, jelek dlsb, bukankah itu namanya fitnah ? Kunjungi dan
alami dulu … lalu bandingkan, baruuu bilang mana yang lebih baiiik … Gitu kalau
mnrt bapak, nduuuk …
Kalau bapak, biarpun
bapak orang jaman sekarang tp bapak produk lama. Barang baru tp produk lama,
hehehe …
Putrinya : Cieeeee … promosi nih
yeeee … Wkwkwkwkwk …
Lah terus, bagaimana
caranya agar bisa mikani
rasa itu tadi, bapak
? Bapak kebanyakan promosi siiih, jdnya sampai lupa ngasih tahu bagaimana
caranya, hehehe …
Bapak : Bukannya bapak lupa,
ndhuuuk, tapi memang belum sampai padapupuh tentang itu. Makanya kalau kamu
sudah jelas pupuh yang di atas, bapak akan segera
menjelaskan pupuh2selanjutnya
…
Putrinya : Sudah owq, bapak. Tp
besok2 kalau lupa boleh tanya lagi to, bapak ? Hehehe
Bapak : Woooo … dhasar cah bodong, kowe iki … ! Ya wis, di
teruskan nanti malam wae, ini sudah jam 5, kamu mesti bantu2
ibumu di dapur, ya … ! Cepet, sana ! Itu, ibumu sdh kluthekan sendiri di dapur !
Putrinya : Siap, bapak … ! Okay !
Hehehe … Matur nuwun ya, bapaaak …
Bapak : Yaaaa …..
Ditulis ulang myjourneychekink
dari sumber aslinya https://elangnusantara.wordpress.com/2011/01/24/belajar-wedhatama-wejangan-seorang-bapak-kepada-putrinya-bagian-ii/